8.10.08

The Beginning Of An End

Sempat terfikir untuk menutup kedai ini, berhenti mengagumi senja dalam coretan aksara, merobohkan teras belakang, membuang kanvas dan cat lukis, menyimpan tripod dan camera digital, meninggalkan selusin album, tak adalagi secangkir latte, tanpa appetizer-main course-atau dessert lagi. ‘coz all that’s left has gone away and there’s nothing there for anyone to prove.

Tapi, kalau ini harus ditutup karena sebuah keadaan, bukan keadaan yang seperti ini yang aku inginkan. Nanti saja, mungkin nanti ada pemilik kedai lain yang akan mengurusnya dengan sangat baik –hei, ternyata ada yang mencintai kedai ini melebihi aku pemiliknya-.
Saat itulah, saat yang tepat Ra. Tapi bukan saat ini. Aku percaya, si pemilik baru akan mengubah taste kedai ini jauh lebih baik.


Apa aku merasa bahagia sekarang?
Awalnya nggak. Tapi lambat laun, ada tanpanya atau tiada tanpanya semua sama qo... lucu ya, ketika kita tak pernah bicara lewat kata bertatap muka, ketika dalam diam, persuasinya tetap sama ketika dalam tujuh tahun yang lalu, enam tahun yang lalu, lima tahun yang lalu, empat, tiga . . . hingga saat ini. Adakah kata untuk menggambarkan ‘perasaan’ yang tepat seperti saat ini? Sudahlah, sudah lelah kuhapus. Banyak warna yang tertumpah, hingga warna lain tidak berkesan lagi. Sudahlah, mau diapakan lagi? kali ini aku tak akan peduli . . . . .

Sekarang waktunya bekerja keras kembali, aku tak mau mengecewakan siapapun, banyak sekali pekerjaan yang harus aku lakukan. Aku tak akan berhenti menemukan sisi-sisi lain dalam diri.
Esok aku akan kembali mengajar di sekolah dasar kecil belakang rumah. Mengajarkan sebuah bahasa yang berbeda dari belahan dunia lain kepada pendar-pendar kecil yang hangat dan penuh senyuman. Semoga saja mereka semangat mendapatkan pelajaran dari Bu Lia ini. "Good Morning Miss!"
Esok akan ada sebuah perwalian besama Bu Lungguh Halira Vonty-dosen wali diiringi pertanyaan-pertanyaan yang melebar dari “Kenapa baru perwalian sekarang Lia...? bosan kuliah?.”
Esok, I’ll make my own financial plan. Aku terlalu boros!
Esok akah ada sebuah prolog untuk novel ke 3, aku ingin menulis untuk sekedar membuka mata imajinasi, berbagi sebuah masalah dalam tulisan yang apik, aku ingin menulis karena dalam tulisan itu aku sendiri yang berhak menentukan epilog seperti apa yang akan terjadi. -Egois ya?-
Esok ada harapan baru. Seperti yang Andrea Hirata tulis di Sang Pemimpi. Tuhan tahu, tapi menunggu. seperti dalam doa-doa ketika bersimpuh di alas hijau. Tanpa perlu berkata-katapun, DIA paham apa yang ada dalam benak ini
“Tuhan, hatiku rapuh, tolong kuatkan aku...”

6 komentar:

Anonim mengatakan...

bagaimanapun hidup harus tetap lanjut dan dijejal dengan semangat!

mulai ngajar lagi lia?

SUKSES ya!

Tuhan memberkati

Anonim mengatakan...

seperti biasa…. posting yang begitu menakjubkan ^^

“jadikan hidupmu seperti termostat yang bisa mengubah keadaan, jangan seperti termometer yg selalu ikut keadaan”

dimanapun selalu menunggu rumah itu. bila hidup kita seperti termostat.

Anonim mengatakan...

sweet post, Lie!
kadang ada yang datang disaat yang tidak terduga

I am so hopelessly romantic although I know some people are bad in keeping their promises.

Anonim mengatakan...

katanya mitch albom kan: All endings are also beginnings. We just don't know it at the time.

Anonim mengatakan...

kata boit juga.. kalo baca buku udah tamat.. bisa mulai baca buku yang lain...

adeliatri mengatakan...

@ jen : ya nona smangat! saiah ngajar lagi nii... di sd kecil belakang rumah...:) pendar2 disana lucu-lucu...

@ berta : setujuuu berta....:) thx kyu so much...:)

@ sherry : survei buku di aksara yuuk jeung...:)