11.12.08

Anomali Rasa

10 Desember 08
23.47
Perempuan itu berjalan dengan masa lalu berat di pundaknya. Sepertinya syaraf-syarafnya sudah tidak berfungsi. Ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, tidak bisa merasakan apa-apa. Kecuali rasa sakit dihatinya. Ia bisa merasakan yang satu itu, sakit sekali...
Perempuan sekarang ada disebuah jendela yang terbuka lebar-lebar pada suatu malam. Ia memandangi kosong ke bawah. Ia hanya ingin dirinya jatuh. Setelah itu, tak ada lagi. Rasa sakitnya juga akan hilang. Ia tidak akan merasakan sakit lagi.
Satu. Satu kali dorongan saja.
Tetapi tubuhnya tetap terpaku ditempat.

“Aku akan melelehkan benteng ego yang kau rajut sekian lama, lelaki. Lain kali aku akan memberimu pertanda agar engkau tetap tinggal. Aku tak bermakna lebih, selain lembanyung sore yang ku hembus dari padang rumput...”

Perempuan berusaha mengatur nafasnya sedemikian rupa.

“...Kisah ini digambarkan sebagai selembar permainan puzzle yang terdiri dari 2920 keping. Dengan ceroboh, ketika bermain di kepingan 2555, sisa kepingan 365 mendadak hilang. Kehilangan yang sesali pada saat ini di masa depan, ketika aku mulai sibuk mencari, dalam tumpukan buku harian di sudut kamar, dalam potongan-potongan gambar tentangnya (dia yang sedang tersenyum lebar, mengerutkan kening, mengusap hidung, membaca buku, membetulkan letak kacamata. Atau dia yang sedang panik), dalam suara-suaranya(dia yang tertawa, berbicara dengan serius, sedang membaca Al-Quran atau berguma sendiri ditengah gejolak fikirannya), dalam kotak masuk pesan singkat, daam urutan kontak. . . . aku terus mencari . . . ironisnya, saat ini aku malah merasa bahwa kepingan-kepingan sisa yang hilang tidak pantas untuk dicari.”

saat itulah secuil kendali diri perempuan yang rapuh termakan waktu akhirnya hancur berkeping-keping. Menyerpih menjadi 365 kepingan yang hilang –ternyata disana, kepingan itu berada, perempuan tidak tahu, perempuan tidak tahu-. Dan tangisnyapun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam dua tangannya dan tersedu-sedu. Ia tidak bisa menahan tangisnya walau dia ingin. Ia hanya berharap sepenuh hati rasa sakit dan kepedihannya akan berkurang walau sedikit. Karena perempuan itu senungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga didalam dadanya. Tempat hatinya memunguti, mengumpulkan, -dan secara tidak sadar- menyembunyikan kepingan itu.
semakin ia menangis maka semakin sakit dadanya. Rasa sakit didadanya kian menusuk. Nyaris tak tertahankan.
Perempuan tak sanggup menahannya lagi.
Ia kembali mencondongkan tubuhnya kedepan. Menatap permukaan tanah dari tempatnya berdiri. Tangannya yang berpegangan erat pada kusen jendela perlahan mengendur.
Disaat yang bersamaan, jendela tertutup rapat-rapat.

11 Desember 08
05.24
Pagi hari.
Yang perempuan tidak tahu.
Angin menerbangkan 365 kepingan yang hilang. Kepingan itu menyusun diri melanjutkan permainan yang belum selesai dimainkan oleh perempuan. Hingga akhirnya papan puzzle itu membingkai suatu gambar hidup yang lengkap-utuh. Gambar itu kemudian memutar sebuah rekaman kehidupan . . . .

Satu windu yang lalu.
Seorang perempuan dan seorang lelaki duduk terpisah menghadap pada jendela besar di sebuah perpustakaan. Masing-masing hanyut dalam dunianya.
Lelaki yang membaca buku. Perempuan yang menunggu.
Mereka adalah dua sosok yang tengah menapaki jalan masing-masing dengan pandangan lurus kedepan – pada jendela besar. Tetapi perempuan itu, tanpa benar-benar mengetahui apa yang ia dapatkan dari duduk selama itu, menunggu – kepada ia yang entah kapan selesai membaca buku.
Perempuan itu nyaman dalam diam. Dia suka lelaki itu duduk disampingnya. Menemani dalam diam. Tapi lelaki tidak merasa nyaman berlama-lama diam. Secara perlahan dia menjauh. Lelaki tidak memberikan tanda bahwa akan pergi. Lelaki seolah tak acuh ada sosok perempuan yang menunggunya sedari ia duduk membaca buku.
Lelakipun pergi.
Masih dalam diam. Perempuan merunduk mendapati lelaki yang dia tunggu, pergi.
Jangan pergi . . . jangan pergi . . .
Ia hanya bisa memohon dalam hati sementara lelaki tanpa berbalik terus berjalan pergi.
Kumohon jangan pergi ... Tetaplah tinggal
Isakan pertama melompat keluar dari tenggorokan dan ia membekap mulut dengan tangannya. Tetapi melihat punggung lelaki yang semakin menjauh, dia tidak bisa sama sekali mengendalikan tangisnya.
Hari berganti hari, minggu, bulan-entah berapa purnama, hingga hari ke 2920. Perempuan tidak beranjak dari tempat semula, kakinya mulai kesemutan. Untuk pertama kalinya, ia ingin tahu apa yang ada diluar jendela, ia ingin memandangi jendela dari sudut yang berbeda, tampaknya ia mulai lelah terus memandang lurus kedepan. Baru kali ini ia merasa ingin mencari sesuatu yang lain, yang belum pernah dia tahu. Kemudian ia memutuskan menyingkirkan meja didepannya, membuka selot jendela yang berkarat, ia merasakan sebentuk oksigen yang melintas ruang grafitasi bumi perlahan masuk melewati celah jendela yang dia buka, menyapu lembut wajahnya, mengibaskan helai-helai rambutnya. Sembari memandang, matanya menghapiri sepanjang jalan dan sudut kota yang gelisah, dia menemukan lelaki itu di situ, di sebuah bangku taman kota, membaca buku, tapi tak sendiri, disampingnya ada seorang perempuan-tetapi bukan dia. Dari situlah semua berawal dan menemukan akhir.
“Ijinkan saya untuk jatuh cinta lagi dengan seseorang selain kamu”
Ucapnya lirih, sembari menutup jendela itu rapat-rapat, memadamkan satu persatu lampu, menurunkan kerai-kerai dan meletakan secara terbalik bangku-bangku berkaki tiga diatas meja.
Perempuan itu pergi.


Rekaman gambar itu pun berhenti, suasana perpustakaan yang gelap dan dalam ruangan yang kosong itu terlihat kepingan hati yang tertinggal dan barangkali memang sengaja ditinggal disana. Di sebuah tempat dimana perempuan menghabiskan hampir semua harinya, untuk menunggu.



=PERMAINANPUN SELESAI=

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hei...
Pernah mencoba berfikir untuk menelurkan sebuah karya yang bisa dinikmati khalayak ramai...?

adeliatri mengatakan...

always!
someday, I will publish a book with my name on the cover.....:)
amin....